Beranda | Artikel
Memahami Nasikh dan Mansukh
Rabu, 6 Maret 2013

Nasakh secara bahasa mempunyai beberapa makna yaitu : Menghapus, merubah, membatalkan dan menggantikan dengan yang lainnya.[1] Dan secara istilah adalah mengangkat sebuah hukum yang telah ditetapkan dengan dalil syari’at dengan dalil lainnya yang datang kemudian.”[2]

Para ulama berijma’ akan adanya nasikh dan mansukh, Al Amidi dalam kitab Al Ihkam (3/165): “Ahli syari’at semua bersepakat bolehnya terjadi nasakh secara akal, dan kenyataannya ada di dalam syari’at, tidak ada kaum muslimin yang menyelisihinya selain Abu Muslim Al Ashfahani.”

Asy Syaukani berkata di dalam irsyadul fuhul (hal 608): “Nasakh bisa terjadi secara akal, dan kenyataannya ada di dalam syari’at tanpa ada perselisihan diantara kaum muslimin, kecuali yang diriwayatkan dari Abu Muslim Al Ashfahani karena ia berkata bahwa nasakh bisa terjadi namun tidak ada kenyataannya, jika ini benar maka itu menunjukkan bahwa ia adalah orang yang sangat bodoh terhadap syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Kaidah Nasikh Mansukh

Pertama : Hukum yang dihapus adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf seperti hukum wajib, sunnah, mubah, haram dan makru, adapun yang berhubungan dengan kabar seperti nama dan sifat Allah, kisah-kisah para Nabi, janji dan ancaman dan keutamaan amal maka tidak berlaku nasikh mansukh.

Kedua : Tidak ada nasakh untuk suatu hukum yang telah telah ditetapkan oleh syari’at karena adanya udzur, seperti gila, mati dan lain-lain.

Ketiga : Hukum yang telah ditetapkan oleh dalil syari’at dan ia mempunyai waktu yang telah ditentukan lalu waktunya telah habis maka tidak disebut nasakh, seperti ayat tentang sholat jum’at.

Kelima : dalil yang menasikh (menghapus) wajib datangnya kemudian dari dalil yang dimansukh, dan jika dalil tersebut sebatas mengecualikan keumuman atau mengikat dalil yang mutlak, atau syarat tertentu maka tidak disebut nasakh.

Keenam : Nasakh tidak berlaku pada maksud-maksud (kaidah) syari’at yang bersifat umum seperti kaidah kesulitan mendatangkan kemudahan dan lain-lain, tidak pula pada hukum amaliyah yang ditunjukkan oleh dalil bahwa ia untuk selama-lamanya seperti hadits yang menyebutkan bahwa hijrah tidak akan terputus sampai taubat terputus.

Ketujuh : Nasikh mansukh harus terjadi ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, adapun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat maka hukum telah menjadi tetap tidak bisa dihapus oleh ijma’ atau pendapat shahabat, atau qiyas atau ro’yu.[3]

Kedelapan : Nasakh harus ada gantinya dengan hukum lain.

Syaikh Muhamad bin Al Amin Asy Syanqithi rahimahullah berkata: “Ketahuilah sesungguhnya perkatan sebagian ahli ushul yang membolehkan nasakh tanpa ada gantinya adalah pendapat yang batil tanpa ragu, karena ia bertentangan dengan firman Allah Ta’ala :

 ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بحير منها أو مثلها

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan (hapuskan) atau Kami jadikan manusia lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya.” (Al Baqarah : 106).[4]

Makna nasakh di zaman salaf.

Yang harus kita fahami adalah bahwa makna nasakh pada zaman salaf lebih luas maknanya dari istilah ulama terakhir, dan menempatkan makna nasakh menurut ulama terakhir kepada makna nasakh di zaman adalah diantara sebab sesatnya banyak manusia. Karena di zaman salaf ayat yang menghususkan ayat lain yang umum atau mengikat yang mutlak dinamai oleh mereka sebagai nasakh, sebagaimana telah diingatkan oleh para ulama seperti Al Harits Al Muhasibi dalam kitab fahmul qur’an, ibnu Taimiyah, ibnu Qayim, Asy Syathibi dan lain-lain.[5]

Contohnya adalah firman Allah Ta’ala :

وعلي الذين يطيقونه فدية طعام مسكين

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin.” (Al Baqarah : 184).

Ayat telah di mansukh sebagaimana di dalam hadits Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al Akwa’, namun diriwayatkan dari ibnu Abbas bahwa ayat ini masih berlaku untuk orang tua renta yang tidak mampu berpuasa demikian pula wanita hamil dan menyusui, mereka diberikan keringan untuk tidak berpuasa dan memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.[6] Sehingga tampaknya ibnu Abbas menyalahi jumhur shahabat dalam masalah ini, namun sebetulnya riwayat ibnu Abbas tersebut tidaklah bertentangan dengan periwayatan ibnu umar dan Salamah bin Al Akwa’ tadi, karena makna nasakh di zaman salaf lebih luas dari makna nasakh menurut istilah ulama terakhir sebagaimana telah kita jelaskan tadi, jadi perkataan ibnu Abbas tadi adalah penghususan dari keumuman ayat. Wallahu a’lam

Macam-macam Nasakh.

Nasikh mansukh terbagi menjadi empat macam :

Pertama : Nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an seperti firman Allah Ta’ala :

  كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين والأقربين بالمعروف

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu dan bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.” (Al Baqarah : 180).

Ayat ini telah dinasakh (mansukh) dengan ayat warisan, Nabi bersabda :

لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ.

“Tidak boleh berwasiat (berupa harta) untuk ahli warits.” (HR Abu Dawud no 2872 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani).

Kedua : Nasakh sunah dengan sunah, contohnya adalah hadits :

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا

“Dahulu aku melarang kamu untuk berziarah kubur, dan sekarang berziarahlah.”

Ketiga : Nasakh sunnah dengan Al Qur’an, seperti hadits mengenai sholat menghadap baitul maqdis yang ditetapkan dengan sunnah kemudian dinasakh oleh ayat :

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

“Maka hadapkanlah wajahmu menuju masjidil haram.” (Al Baqarah : 144).

Keempat : Nasakh Al Qur’an dengan sunah.

Imam Asy Syafi’I dan Ahmad berpendapat bahwa Al Qur’an tidak boleh dinasakh dengan sunah dan ini yang dipilih oleh Syaikhul islam, sedangkan jumhur berpendapat bolehnya nasakh Al Qur’an dengan sunnah, namun contoh yang bisa diterima tidak ditemukan. Wallahu a’lam


[1] Al Qomus karya Fairuz Abadi hal 334.

[2] Ibnu Qudamah, Roudlatunadzir 1/190.

[3] Attahqiqat wattanqihat Assalafiyat hal 336-337.

[4] Adlwaa’ul bayan 3/362.

[5] At Tahqiqat wattanqihat hal 338.

[6] Abu Dawud no 2318. Dan sanadnya shahih.


Artikel asli: https://cintasunnah.com/memahami-nasikh-dan-mansukh/